-acha290814-
-ed.dongeng-
“Nak, maukah kuceritakan kisah tentang monyet tahan uji?”
“Iya ma, aku mau.” Sang anak menyahut sambil merajuk ke pelukan mamanya.
Wanita paruh baya itu membelai lembut rambut anaknya. Ia mulai bercerita.
Ada seekor monyet sedang bertengger di puncak pohon kelapa. Monyet itu diintai tiga angin besar: Topan, Tornado, dan Bahorok. Ketiga angin bergunjing perihal siapa yang paling cepat dapat menjatuhkan monyet dari pohon kelapa. Topan bilang hanya butuh waktu 45 detik. Tornado hanya butuh waktu 30 detik. Bahorok meledek, dia hanya butuh 15 detik.
Satu per satu ketiga angin memperagakan kehebatan mereka. Angin Topan maju duluan. Ia meniup pohon kelapa sekencang-kencangnya. Angin besar mengguncang. Si monyet berpegangan pelepah daun kelapa sekuat-kuatnya. Beberapa menit telah lewat. Si monyet tetap di sarangnya. Angin Topan menyerah.
Giliran Tornado. Ia meniup pohon tak kalah keras. Pohon kelapa terguncang ke sana kemari sampai nyaris roboh. Namun, monyet tetap bertahan digempur badai. Tornado pun angkat tangan.
Terakhir, angin Bahorok. Ia meniup paling keras. Si monyet justru makin waspada. Ia tetap tidak jatuh-jatuh. Ketiga angin mengakui si monyet memang jagoan. Daya tahannya sangat hebat.
Tiba-tiba datanglah angin sepoi-sepoi. Ia ingin terlibat dalam kompetisi menjatuhkan monyet. Ketiga angin besar tertawa terbahak-bahak meremehkan kemampuan angin berkekuatan lemah itu. Tak hilang muka direndahkan, angin sepoi langsung menunjukkan kemampuannya. Dia meniup ubun-ubun si monyet. Mata monyet tampak mulai riyep-riyep kehilangan keseimbangan. Ia akhirnya tertidur. Pegangannya lepas dan terjatuh ke tanah.
“Kau mengerti , Nak, maksud kisah tadi?”
“Kita tak boleh meremehkan orang lain, Ma?” Anak kecil berambut ikal itu memandang mata mamanya meminta persetujuan.
“Iya, Nak. Topan, Tornado, dan Bahorok meremehkan angin sepoi. Ketiga angin itu mengira bahwa angin sepoi tak akan dapat menjatuhkan monyet. Nyatanya angin sepoi dapat melakukannya. Kau tahu kenapa angin sepoi berhasil?” Wanita yang dipanggil Mama itu mengalihkan pandangan dari anaknya ke langit-langit kamar, menerawang.
“Apakah karena angin sepoi kuat, Ma? Tapi aku rasa bukan. Angin Topan, Tornado, dan Bahorok jauh lebih kuat.” Anak itu masih melihat ke arah mamanya. Sementara mama masih sibuk menerawang.
“Iya, anakku. Bukan karena itu.”
“Apakah karena si monyet mengantuk, Ma?” Anak itu menguap tanda mengantuk.
“Si monyet memang mengantuk. Dia terlena dengan sepoi angin yang membelainya. Sebagaimana kehidupan ini, nak, yang sering membuat kita terlena.”
“Maksud mama apa? Aku tak mengerti.”
“Di dunia ini, banyak manusia yang diuji kesusahan, ditelikung penderitaan, dan didera malapetaka, justru cenderung makin kuat dan liat. Namun, ketika disodori kenikmatan, kesenangan, dan kelimpahan, manusia gampang terlena. Dan kau, anakku, jadilah orang yang tak hanya handal dan tahan uji dalam penderitaan, namun juga kesenangan. Suatu masa dalam titik kehidupanmu, kau akan berada di zona nyaman, kalau kau berdiam diri terlalu lama di sana, kau akan tergerus zaman. Berjalanlah, kalau perlu berlarilah ke zona tak nyaman, lalu cari jalan keluar dari masalah yang menelikungmu. Kau akan menjadi anak yang kuat.” Mama mengucapkan semua itu dalam hatinya. Anaknya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Ia kini menoleh ke arah anaknya yang masih menunggu jawaban. Ia memandang mata bulat dan pipi tembem anaknya yang menggemaskan. Lalu membelai rambut dan menyelimuti anaknya.
“Jalanilah hari-harimu dengan sebaik-baiknya, nak. Jadilah hamba Allah yang bermanfaat. Karena fitrah manusia untuk memuji, meluhurkan, dan memuliakan Allah,” ujar Mama penuh kasih.